1) Peristiwa 10 november
* Tokoh
- Jendral Sir Philip Christison
- Jendral Mallaby
- Mayor Jenderal Robert Mansergh
- Hariyono dan Kusno Wibowo
- Budi Utomo
- K. H Hasyim Asy'ari
* Waktu
- 10 November 1945
* Lokasi
- Surabaya
* Latar Belakang
Pada tanggal 15 September 1945, sekutu mendaratkan tentaranya di Tanjung Priok yang disusul dengan pendaratan tentara sekutu yang dipimpin oleh W.R. Paterrson. Untuk menjalankan tugas di Indonesia, sekutu membentuk AFNEI denagn panglimanya Letjend Sir Philip Christison yang membawahi 3 pasukan divisi, yaitu divisi Jakarta, Surabaya, dan Sumatra.
Jenderal Mallaby adalah jenderal tertinggi di Jawa Timur. Ia tewas ketika mobilnya berpapasan dengan milisi Indonesia. Sebuah percekcokan salah paham terjadi sebelum akhirnya dua anggota bersenjata beda kubu itu saling melancarkan serangan.
Dari pihak Indonesia ada satu orang yang sampai sekarang tidak diketahui namanya yang menembak Mallaby hingga tewas. Tidak hanya itu, mobil Jenderal Mallaby juga terkena granat, dan akhinrya jenazah Mallaby sulit dikenali.
Pada 10 November 1945, tentara Inggris mulai melancarkan serangan,
diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya. Inggris
kemudian memborbardir kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat.
Semboyan
Merdeka Atau Mati
Pertemuan pemuda dan kelompok bersenjata di
Surabaya memutuskan mengangkat Sungkono sebagai Komandan Pertahanan Kota
Surabaya dan mengangkat Surachman sebagai Komandan Pertempuran. Dari sini,
muncul semboyan “Merdeka atau Mati.”
Sumpah
Pejuang Surabaya
Tetap Merdeka!
Kedaulatan Negara
dan Bangsa Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 akan kami
pertahankan dengan sungguh-sungguh, penuh tanggungjawab bersama, bersatu,
ikhlas berkorban dengan tekad: Merdeka atau Mati! Sekali Merdeka tetap Merdeka!
Bung Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan
semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut
di tengah serangan Inggris.
Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak
terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran ini mencapai waktu sampai
tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak
Inggris. Para pejuang yang masih hidup mengikuti ribuan pengungsi meninggalkan
Surabaya dan selanjutnya membuat garis pertahanan baru dari Mojokerto di Barat
hingga ke arah Sidoarjo di Timur.
*Dampak Negatif
Indonesia kehilangan setidaknya 6.000-16.000 pejuang yang tewas dan
200.000 rakyat sipil yang mengungsi dari Surabaya. Tetapi Indonesia juga banyak
mengalahkan korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600-2.000
tentara. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil menjadi korban pada hari
10 November 1945, maka Indonesia mengenang tanggal itu sebagai Hari Pahlawan
sampai sekarang.
*Dampak Positif
Dampak lainnya yaitu dengan pertempuran Surabaya sebagai pembentukan
jiwa nasionalisme bangsa Indonesia untuk menentang kembali dominasi Sekutu/NICA
di Indonesia. Sehingga pertempuran Surabaya merupakan barometer dan motivasi
bagi daerah-daerah lain yang ada di wilayah teritorial Indonesia untuk
melakukan hal yang sama.
2) Bandung Lautan Api
* Tokoh
- Muhammad Toha
- Kolonel Abdul Haris Nasution
- Sutan Syahrir
* Waktu
- 23 Maret 1946
* Lokasi
- Bandung
* Latar Belakang
Peristiwa
Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 23 Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk
Bandung membakar rumah mereka,
meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah
tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai
markas strategis militer dalam Perang
Kemerdekaan Indonesia.
Pasukan Inggris tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945. Mereka menuntut agar semua senjata api yang ada di
tangan penduduk, kecuali TKR, diserahkan kepada mereka. Orang-orang Belanda
yang baru dibebaskan dari tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai
mengganggu keamanan. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR
tidak dapat dihindari. Malam tanggal 21 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan
terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homan dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai
markas. Tiga hari kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur
Jawa Barat agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk
pasukan bersenjata.
Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara
Republik Indonesia (TRI, sebutan bagi TNI pada saat itu) meninggalkan kota Bandung
mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumihangus". Para pejuang pihak Republik
Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh
pihak Sekutu dan NICA. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan
semua kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 23 Maret 1946. Kolonel Abdoel
Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan
memerintahkan evakuasi Kota Bandung. Hari itu juga,
rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota Bandung dan
malam itu pembakaran kota berlangsung.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan
rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakan Bandung
sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam mengepul membubung
tinggi di udara dan semua listrik mati. Tentara Inggris mulai menyerang
sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di
Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan
Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu. Dalam pertempuran
ini Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota milisi BRI
(Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi
tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang tersebut dengan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama
kedua milisi tersebut di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya
akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada
pukul 21.00 itu juga ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak
saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk
dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota, sehingga Bandung pun menjadi
lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut
dianggap merupakan strategi yang tepat dalam Perang
Kemerdekaan Indonesia karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak
sebanding dengan kekuatan pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah
peristiwa tersebut, TRI bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara
gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama
penciptanya masih menjadi bahan perdebatan.
Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo, Halo Bandung" secara resmi
ditulis, menjadi kenangan akan emosi yang para pejuang kemerdekaan Republik
Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali ke kota tercinta mereka yang
telah menjadi lautan api.
*Asal istilah
Istilah Bandung Lautan Api menjadi istilah yang terkenal setelah
peristiwa pembumihangusan tersebut. Jenderal A.H Nasution adalah Jenderal TRI yang dalam
pertemuan di Regentsweg (sekarang
Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari
pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, memutuskan strategi yang akan dilakukan terhadap
Kota Bandung setelah menerima ultimatum Inggris tersebut.
Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946. Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dari
bukit Gunung
Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung
yang memerah dari Cicadas sampai
dengan Cimindi.
Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis
berita dan memberi judul "Bandoeng
Djadi Laoetan Api". Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan
judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi "Bandoeng Laoetan Api".
3) Pertempuran Medan Area
*Tokoh
- Brigjen. T. E. D Kelly
- Ahmad Tahir
- Teuku Muhammad Hasan
* Waktu
- 10 Desember 1945
* Lokasi
- Medan
* Latar Belakang
Pada tanggal 9 Oktober
1945, di Medan mendarat pasukan Serikat yang diboncengi oleh NICA. Para Pemuda
Indonesia dan Barisan Pemuda segera membentuk TKR di Medan.
Pertempuran pertama pecah
tanggal 13 Oktober 1945 ketika lencana merah putih diinjak-injak oleh tamu di
sebuah hotel. Para pemuda kemudian menyerbu hotel tersebut sehingga mengakibatkan
96 korban luka-luka. Para korban ternyata sebagian orang-orang NICA.
Penyerahan kekuasaan Jepang
kepada Sekutu dilalukan oleh Komando Asia Tenggara (South East Asia Command
atau SEAC) di bawah pimpinan Laksamana Lord Louis Mounbatten. Pasukan Sekutu
yang bertugas di Indonesia adalah Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI)
yang dipimpin Sir Philip Christison. AFNEI merupakan komando bawahan dari SEAC.
Tugas
AFNEI di Indonesia adalah:
- Menerima
penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang
- Membebaskan
para tawanan perang dan interniran Sekutu
- Melucuti
orang-orang Jepang dan kemudian dipulangkan ke negaranya
- Menjaga
keamanan dan ketertiban (law and order) dan
- Menghimpun
keterangan guna menyelidiki pihak-pihak yang dianggap sebagai penjahat perang.
Pada awalnya rakyat
Indonesia menyambut kedatangan Sekutu dengan senang. Akan tetapi setelah
diketahui NICA ikut, rakyat Indonesia menjadi. Kedatangan NICA di
Indonesia didorong oleh keinginan menegakkan kembali Hindia-Belanda dan
berkuasa kembai di Indonesia. Datangnya pasukan Sekutu diboncengi NICA
mengundang perlawanan rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan. Berbagai
perlawan terhadap Sekutu muncul di berbagai daerah muncul.
Ulah seorang penghuni hotel
yang merampas dan menginjak-injak lencana merah putih. Insiden ini terjadi di
hotel di Jalan bali, Medan pada tanggal 13 Oktober 1945. Saat itu seorang
penghuni hotel (Pasukan NICA) merampas dan menginjak-injak lecana Merah Putih
yang dipakai pemuda Indonesia. Hal ini mengundang kemarahan para pemuda.
Akibatnya, terjadi perusaka dan penyerangan terhadap hotel yang banyak dihuni
pasikan NICA.
Pemberian batas daerah
Medan secara sepihak oleh Sekutu dengan memasang papan pembatas yang
bertuliskan “Fixed Boundaries Medan Area” di sudut-sudut pinggiran Kota Medan.
Pada
tanggal 18 Oktober 1945 Sekutu mengeluarkan ultimatum yang isinya:
melarang
rakyat membawa senjata
semua
senjata harus diserahkan kepada pasukan Sekutu
Karena ultimatumnya tidak
dihiraukan oleh rakyat Medan, Pasukan Sekutu mengerahkan kekuatannya untuk
menggempur kota Medan dan sekitarnya. Serangan Sekutu ini dihadapi dengan gagah
berani oleh pejuang RI dibawah koordinasi kolonel Ahmad Tahir.
*Sebab-sebab Pertempuran
Tawanan perang yang
dibebaskan sekutu dipersenjatai & bersikap congkak sehingga menyebabkan
terjadinya insiden di beberapa tempat
Penghuni hotel (pasukan
NICA) merampas dan menginjak-injak lencana Merah Putih yang dipakai pemuda
Indonesia. Hah ini mengundang kemarahan para pemuda Indonesia. Akibatnya
terjadi perusakan dan penyerangan terhadaap hotel yang banyak dihuni pasukan
NICA. Pada tanggal 1 Desember 1945, pihak sekutu memasang papan yang
bertuliskan “Fixed Boundaries Medan Area” di beberapa sudut kota. Sejak itulah
Medan Area menjadi terkenal. Pasukan Inggris dan NICA mengadakan pembersihan
terhadap unsur Republik yang berada di kota Medan.
*Jalannya Pertempuran
Pada tanggal 18 Okt 1945,
Sekutu mengultimatum rakyat Medan untuk menyerahkan senjatanya.NICA melakukan
aksi teror yg menyebabkan pecahnya pertempuran shg banyak korban di pihak
Inggris. Tanggal 1 Des 1945 Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed
Boundaries Medan Area di berbagai sudut pinggiran kota Medan.
Pada bulan April 1946
pasukan Sekutu berhasil mendesak pemerintah RI keluar Medan. Pasukan Inggris
dan NICA mengadakan pembersihan terhadap unsur Republik yang berada di kota
Medan.
*Akibat Pertempuran
Pertempuran Medan Area
berakhir pada 15 Februari 1947 pukul 24.00 setelah ada perintah dari Komite
Teknik Gencatan Senjata untuk menghentikan kontak senjata. Sesudah itu Panitia
Teknik genjatan senjata melakukan perundingan untuk menetapkan garis-garis
demarkasi yang definitif untuk Medan Area. Dalam perundingan yang
berakhir pada tanggal 10 Maret 1947 itu, ditetapkanlah suatu garis demarkasi
yang melingkari kota Medan dan daerah koridor Medan Belawan. Panjang garis demarkasi
yang dikuasai oleh tentara Belanda dengan daerah yang dikuasai oleh tentara
Republik seluruhnya adalah 8,5 Km. Pada tanggal 14 Maret 1947 dimulailah
pemasangan patok-patok pada garis demarkasi itu. Akan tetapi kedua pihak,
Indonesia dan Belanda, selalu bertikai mengenai garis demarkasi ini. Empat
bulan setelah akhir pertempuran ini, Belanda melaksanakan Operatie Product atau
disebut Agresi Militer Belanda I.
*Akhir Pertempuran
Pada tanggal 10 Agustus
1946 di Tebingtinggi diadakan pertemuan antara komandan-komandan pasukan yang
berjuang di Medan Area. Pertemuan tersebut memutuskan dibentuknya satu komando
yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Komando tersebut
meneruskan perjuangan di Medan Area.
4) Insiden Hotel Yamato
* Tokoh
- Hariyono dan Kusno Wibowo
- Jendral Mallaby
- K. H Hasyim Asy'ari
- Budi Utomo
\
* Waktu
- 19 September 1945
* Lokasi
- Surabaya
* Latar Belakang
Insiden
Hotel Yamato adalah peristiwa perobekan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru)
menjadi bendera
Indonesia (Merah-Putih) di Hotel Yamato Surabaya (sekarang Hotel
Majapahit Surabaya) pada tanggal 19 September 1945 yang didahului oleh
gagalnya perundingan antara Sudirman (residen Surabaya) dan Mr. W.V.Ch Ploegman untuk menurunkan bendera
Belanda.
Setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia dan dikeluarkannya maklumat
pemerintahan Soekarno tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Merah Putih dikibarkan terus di seluruh
wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap
pelosok kota Surabaya.
Di berbagai tempat strategis dan
tempat-tempat lainnya bendera Indonesia dikibarkan. Antara lain di teras
atas Gedung Kantor Karesidenan, di atas Gedung Internatio, disusul barisan pemuda
dari segala penjuru Surabaya yang membawa bendera Indonesia datang ke Tambaksari (lapangan Stadion
Gelora 10 November) untuk menghadiri rapat raksasa yang diselenggarakan
oleh Barisan Pemuda Surabaya.
Saat rapat tersebut lapangan
Tambaksari penuh lambaian bendera merah putih disertai pekik 'Merdeka' yang
diteriakkan massa. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya
kemudian terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato atau Oranje Hotel (sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
*Kedatangan tentara
Inggris dan Belanda dalam AFNEI
Awalnya Jepang dan Indo-Belanda yang
sudah keluar dari interniran menyusun suatu organisasi, Komite Kontak Sosial, yang mendapat bantuan
penuh dari Jepang. Terbentuknya komite ini disponsori oleh Palang
Merah Internasional (Intercross). Namun, berlindung dibalik Intercross mereka melakukan
kegiatan politik. Mereka mencoba mengambil alih gudang-gudang dan beberapa
tempat telah mereka duduki, seperti Hotel Yamato. Pada 18 September 1945, datanglah di Surabaya (Gunungsari) opsir-opsir
Sekutu dan Belanda dari AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies)
bersama-sama dengan rombongan Intercross dari Jakarta.
Rombongan Sekutu tersebut oleh
administrasi Jepang di Surabaya ditempatkan di Hotel Yamato, Jl Tunjungan 65, sedangkan
rombongan Intercross di Gedung Setan, Jl Tunjungan 80 Surabaya, tanpa seijin Pemerintah Karesidenan Surabaya. Dan sejak itu Hotel
Yamato dijadikan markas RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of War
and Internees: Bantuan Rehabilitasi untuk Tawanan Perang dan
Interniran).
*Pengibaran bendera
Belanda
Sekelompok orang Belanda di bawah
pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada malam hari tanggal 19 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa
persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel
Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya
dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan
Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan
gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Kabar tersebut tersebar cepat di
seluruh kota Surabaya, dan Jl. Tunjungan dalam tempo singkat dibanjiri oleh
massa yang marah. Massa terus mengalir hingga memadati halaman hotel serta
halaman gedung yang berdampingan penuh massa yang diwarnai amarah. Di sisi agak
belakang halaman hotel, beberapa tentara Jepang berjaga-jaga untuk
mengendalikan situasi tak stabil tersebut.
*Gagalnya perundingan
Sudirman dan Ploegman
Tak lama setelah mengumpulnya massa
tersebut, Residen Sudirman datang melewati
kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai
perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta
agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan
ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk
mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman
mengeluarkan pistol, dan terjadilah
perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang
kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar
letusan pistol Ploegman, sementara Sudirman dan Hariyono melarikan diri ke luar
Hotel Yamato.
*Perobekan bendera Belanda
Di luar hotel, para pemuda yang
mengetahui berantakannya perundingan tersebut langsung mendobrak masuk ke Hotel
Yamato dan terjadilah perkelahian di lobi hotel. Sebagian pemuda berebut naik
ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama
Sudirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan
bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian
birunya, dan mengereknya ke puncak tiang kembali. Peristiwa ini disambut oleh
massa di bawah hotel dengan pekik 'Merdeka' berulang kali.
5) Pertempuran Ambarawa
* Tokoh
- Letkol Isdiman,
- Kolonel Sudirman
- M Sarbini
- Brigadir Bethel
* Waktu
- 20 November 1945
* Lokasi
- Semarang
*Latar Belakang
Peristiwa ambarawa ini dilatarbelakangi oleh mendaratnya pasukan
Inggris dari Divisi India ke-23 di kota Semarang pada tanggal 20 oktober 1945.
Pemerintah Indonesia memperkenankan sekutu untuk mengurus tawanan perang yang
saat itu berada di penjara Magelang dan Ambarawa.
Pertempuran Ambarawa terjadi pada tanggal 20 November 1945 dan
berakhir sampai dengan tanggal 15 Desember 1945, antara pasukan TKR (indonesia)
melawan pasukan sekutu (inggris). Ambarawa merupakan sebuah kota yang terletak
diantara dua kota yakni Semarang dan magelang, juga diantara Semarang dan
Salatiga.
Kedatangan
pasukan Inggris kemudian diikuti oleh pasukan NICA. Sekutu mempersenjatai para
bekas tawanan perang Eropa tersebut, sehingga pada tanggal 26 Oktober 1945
terjadi sebuah insiden dikota Magelang yang kemudian sampai pada puncaknya
terjadi pertempuran antara pasukan TKR melawan pasukan sekutu (Inggris).
Insiden
tersebut bisa reda berakhir setelah Presiden Ir. Soekarno (indonesia) dan
Brigadir Jenderal Bethell (Sekutu) datang ke Magelang pada tanggal 2 November
1945. Akhirnya mereka mengadakan perundingan gencatan senjata dan memperoleh
kata sepakat antara kedua pihak yang dituangkan da1am 12 pasal. Naskah
persetujuan tersebut berisi antara lain adalah sebagai berikut:
- Pihak
Sekutu akan tetap menempatkan pasukannya di Magelang untuk melakukan
kewajibannya melindungi dan mengurus evakuasi pasukan Sekutu yang ditawan
pasukan Jepang (RAPWI)
- Palang
Merah (Red Cross) yang menjadi bagian dari pasukan Inggris.
- Jumlah
pasukan Sekutu dibatasi sesuai dengan tugasnya.
- Sekutu
tidak akan mengakui aktivitas NICA dan badan-badan di bawahnya
- Jalan
raya Ambarawa dan Magelang terbuka sebagai jalur lalu lintas Indonesia dan
Sekutu.
- Sekutu
tidak akan mengakui aktivitas NICA dan badan-badan yang ada di bawahnya.
* Penyebab Pertempuran
Penyebab
terjadinya pertempuran ambarawa adalah karena pihak ternyata tidak menepati
perjanjian yang telah disepakati. Pada tanggal 20 November 1945 Pertempuran
Ambarawa pecah pertempuran antara TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto dan pihak
Inggris. Pada tanggal 21 November 1945, pasukan Inggris yang berada di Magelang
ditarik mundur ke Ambarawa di bawah lindungan pesawat tempur.
* Akhir Pertempuran
Pada tanggal 5
Desember 1945, sekutu terusir dari Banyubiru. Pada tanggal 11 Desember 1945 Kolonel Sudirman mengambil prakarsa untuk mengumpulkan setiap komandan sector.
Akhir pertempuran Ambarawa terjadi pada tanggal 12 Desember 1945 dimana mereka
berhasil mengepung musuh yang ada di salam kota. Kota Ambarawa dikepung selama
4 hari 4 malam. Akhirnya pada tanggal 15 Desember 1945 musuh meninggalkan kota
Ambarawa dan mundur ke kota Semarang.
6) Pertempuran Puputan Margarana
* Tokoh
- I Gusti Ngurah Rai
* Waktu
- 20 November 1946
* Lokasi
-Bali
* Latar Belakang
Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1949 Belanda mendaratkan pasukannya kurang
lebih 2000 tentara di Bali yang diikuti oleh tokoh-tokoh yang memihak Belanda.
Tujuan dari pendaratan Belanda ke Bali sendiri adalah untuk menegakkan
berdirinya Negara Indonesia Timur. Pada waktu itu Letnan Kolonel I Gusti Ngurah
Rai yang menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa Tenggara sedang pergi ke
Yogyakarta untuk mengadakan konsultasi dengan Markas tertinggi TRI, sehingga
dia tidak mengetahui tentang pendaratan Belanda tersebut.
Niat menjadikan bali sebagai Negara Indonesia Timur, Belanda menambah
kekuatan militernya untuk menacapkan kuku imprealis lebih dalam di Bali. Pasca
Linggarjati sejumlah kapal banyak mendarat di pelabuah lepas pantai Baling. Ini
juga barangkali yang menyebabkan meletusnya Puputan Jagarana yang dipimpin oleh
Kerajaan Buleleng.
Keadaan ini membuat suhu perpolitikan dalam negeri sedikit tidak stabil,
goyah Sebagian pihak menilai perjanjian Linggarjati merugikan RI. Rakyat bali
kecewa karena berhak menjadi bagian dari kesatuan RI. I Gusti Ngurah Rai yang
saat itu menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa Tenggara ‘digoda’ oleh Belanda.
Sejumlah tawaran menggiurkan disodorkan untuk meluluhkan hati Sang Kolonel agar
membentuk Negara Indonesia Timur. Gusti Ngurah Rai yang saat itu berusia 29
tahun lebih memilih Indonesia sebagai Tanah Airnya.
Di saat pasukan Belanda sudah berhasil mendarat di Bali, perkembangan
politik di pusat Pemerintahan Republik Indonesia kurang menguntungkan akibat
perundingan Linggajati, di mana pulau Bali tidak diakui sebagai bagian wilayah
Republik Indonesia. Pada umumnya Rakyat Bali sendiri merasa kecewa terhadap isi
perundingan tersebut karena mereka merasa berhak masuk menjadi bagian dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terlebih lagi ketika Belanda
berusaha membujuk Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai untuk diajak membentuk
Negara Indonesia Timur.
Untung saja ajakan tersebut ditolak dengan tegas oleh I Gusti Ngurah
Rai, bahkan dijawab dengan perlawanan bersenjata Pada tanggal 18 November 1946.
Pada saat itu I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya Ciung Wanara Berhasil
memperoleh kemenangan dalam penyerbuan ke tangsi NICA di Tabanan. Karena geram,
kemudian Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya di Bali dan Lombok untuk
menghadapi perlawanan I Gusti Ngurah Rai dan Rakyat Bali.
Selain merasa geram terhadap kekalahan pada pertempuran pertama,
ternyata pasukan Belanda juga kesal karena adanya konsolidasi dan pemusatan
pasukan Ngurah Rai yang ditempatkan di Desa Adeng, Kecamatan Marga, Tabanan,
Bali. Setelah berhasil mengumpulkan pasukannya dari Bali dan Lombok, kemudian
Belanda berusaha mencari pusat kedudukan pasukan Ciung Wanara.
Ngurah Rai memiliki pasukan yang bernama “TOKRING” KOTOK GARING
melakukan pertempuran terakhir yang dikenal dengan nama Puputan Margarana.
(Puputan, dalam bahasa bali, berarti “habis-habisan”, sedangkan Margarana
berarti “Pertempuran di Marga”; Marga adalah sebuah desa ibukota kecamatan di
pelosok Kabupaten Tabanan, Bali).
7) Pertempuran 5 Hari di Semarang
* Tokoh
- Dr. Kariadi
- Mr. Wongsonegoro
* Waktu
- 15 - 19 Oktober 1945
* Lokasi
- Semarang
* Latar Belakang
Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah
tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika
Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi
pada 6 dan 9 Agustus 1945 Mengisi kekosongan
tersebut, Indonesia kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Hal pertama yang menyulut kemarahan
para pemuda Indonesia adalah ketika pemuda Indonesia memindahkan
tawanan Jepang dari Cepiring ke Bulu, dan di tengah jalan mereka
kabur dan bergabung dengan pasukan Kidō
Butai dibawah pimpinan Jendral Nakamura. Kidō Butai terkenal sebagai
pasukan yang paling berani, dan untuk maksud mencari perlindungan mereka
bergabung bersama pasukan Kidō
Butai di Jatingaleh.
Setelah kaburnya tawanan Jepang,
pada Minggu, 14 Oktober 1945, pukul 6.30 WIB,
pemuda-pemuda rumah sakit mendapat instruksi untuk mencegat dan memeriksa mobil
Jepang yang lewat di depan RS Purusara. Mereka menyita sedan
milik Kempetai dan merampas senjata mereka. Sore harinya, para pemuda ikut
aktif mencari tentara Jepang dan kemudian menjebloskannya ke Penjara Bulu.
Sekitar pukul 18.00 WIB, pasukan Jepang bersenjata lengkap melancarkan serangan
mendadak sekaligus melucuti delapan anggota polisi istimewa yang waktu itu
sedang menjaga sumber air minum bagi warga Kota Semarang Reservoir Siranda di Candilama. Kedelapan anggota Polisi Istimewa
itu disiksa dan dibawa ke markas Kidō
Butai di Jatingaleh. Sore itu tersiar kabar tentara Jepang
menebarkan racun ke dalam reservoir itu. Rakyat pun menjadi gelisah. Cadangan
air di Candi, desa Wungkal, waktu itu adalah satu-satunya sumber mata air di
kota Semarang. Sebagai kepala RS Purusara (sekarang RSUP Dr. Kariadi) Dokter Kariadi berniat
memastikan kabar tersebut. Selepas Magrib, ada telepon dari pimpinan Rumah
Sakit Purusara, yang memberitahukan agar dr. Kariadi, Kepala Laboratorium Purusara segera
memeriksa Reservoir Siranda karena berita Jepang menebarkan racun itu. Dokter
Kariadi kemudian dengan cepat memutuskan harus segera pergi ke sana. Suasana
sangat berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan serangan di beberapa
tempat termasuk di jalan menuju ke Reservoir Siranda. Isteri dr. Kariadi, drg.
Soenarti mencoba mencegah suaminya pergi mengingat keadaan yang sangat genting
itu. Namun dr. Kariadi berpendapat lain, ia harus menyelidiki kebenaran
desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan warga Semarang. Akhirnya drg.
Soenarti tidak bisa berbuat apa-apa. Ternyata dalam perjalanan menuju Reservoir
Siranda itu, mobil yang ditumpangi dr. Kariadi dicegat tentara Jepang di Jalan Pandanaran. Bersama tentara
pelajar yang menyopiri mobil yang ditumpanginya, dr. Kariadi ditembak secara
keji. Ia sempat dibawa ke rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB. Ketika tiba di
kamar bedah, keadaan dr. Kariadi sudah sangat gawat. Nyawa dokter muda itu
tidak dapat diselamatkan. Ia gugur dalam usia 40 tahun satu bulan.